Malam
ini aku melihat bunda dalam lelap, ada sisa kerak air mata di pipi bunda, dan
matanya betam seperti ditonjok martil oleh orang gempal, dan perutnya sudah
terlihat membesar. Tak tega aku membangunkannya, tidurlah bunda, mungkin bunda
terlalu lelah memeras air mata hingga bunda tak bisa merasakan kehadiranku kini.
Terbang
mengelilingi kamarnya dan hinggap pada gorden jendela yang selalu bunda tutup. Kamarnya
tetap saja gelap, masih sama seperti pertama aku berkunjung ke kamarnya dulu.
Aku masih ingat bagaimana semua itu dimulai, masih terasa lipstick rasa anggur
itu, lidah yang mengais-ngais yang tak pasti.
“ayah,
aku takut hamil” aku tertawa dalam hati, aku dipanggil ayah olehnya, kita hanya
tunangan sudah dipanggil ayah? Meskipun aku juga memanggilnya bunda. Lucu
memang cara kami berpacaran, atau kadang dibilang bodoh,
“tenang
bunda, 1 bulan lagi kita akan menikah, meskipun kamu hamil. Tak akan terlihat
besarnya perutmu.” Meskipun aku tahu bahwa hidupku tak lebih dari satu bulan.
Jika tidak ada hewan yang menggerogoti jumlah darahku, aku tidak akan seperti
ini.
Lalu
kukecup rasa anggur itu, hingga membakar bara yang ada dalam diriku, semuanya
menjadi panas, dan bunda juga ikut panas, menular seperti HIV, tapi ini lebih
cepat, tidak membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendapat efeknya.
“Bagaimana
jika dia hamil?, lalu bagaimana nasib anakku nanti?” Masih saja nota ini
menggantung dalam pikiranku, seperti tugas kuliah yang tak pernah aku kerjakan,
hingga aku baru lulus ketika semester sepuluh. Tekanan ini membuat darah segar
keluar dari hidung, dan gusiku. Kepalaku seperti ditindas, entah beratnya
berapa kilo, aku belum sempat menghitungnya. Beratnya cukup membuatku jatuh
tersungkur, aku belum pernah jatuh sebelumnya, bahkan dengan senseiku sendiri,
dia belum pernah bisa membantingku.
Masih
saja terasa darah yang ada dalam mulutku ini, terdengar suara ibuku menangis
membangunkanku, lalu aku juga mendengar adikku menangis meminta untuk dibelikan
HP BlackBerry yang lagi ngetren saat itu. Ada-ada saja ababil ini. Aku berusaha
bangun, tapi ada yang mengikat gorden mataku, hingga terasa sulit membuka mata
ini. Semakin keras tangisan ibuku, semakin keras juga adikku merengek meminta
HP baru. Ah sudahlah aku tak peduli.
Aku merasakan
tangan lembut membelai tanganku, mungkin ini bunda, tapi bagaimana dia tahu
kalau keadaanku seperti ini. Tangan lembut itu memegang nadiku, Kemudian aku
merasakan jarum menusuk nadiku, ini pasti suster, sialan. aku ingin menjerit,
meraung, menyakar-nyakar suster ini. Membuka mata saja tidak bisa, bagaimana
aku menyakar suster ini. Ah sudahlah aku tak peduli.
Aku
seperti mendapat energy baru setelah suster bangsat itu menusuk nadiku, dan aku
masih mendengar adikku merengek kepada ibu meminta HP baru, mungkin karena ibu
sudah bosan dengan rengekan ababil ini, dan ibu langsung mengiyakan apa kemauan
adikku. Kontan aku bangun, berteriak, memaki adikku itu, dan memandang adikku
seperti permen karet yang ingin kulahap, mengunyahnya, lalu membuangnya dalam
selokan. “dasar anak tak tahu diuntung, apa kurang bagus i-phone 4s yang kamu
pegang itu?!” dasar memang anak manja, dia langsung pergi ke ayahnya yang
berdiri di ambang pintu, sambil mengadu kalau dirinya telah kumarahi. Hah,
sudah tentu ayah memarahiku, dan memihak anaknya yang paling cantik itu, bahkan
lebih cantik dari ibuku. Ibu hanya memelukku, menenangkanku lalu merebahkanku.
Aku melihat nadiku, ternyata jarum itu tersambung selang berwarna merah dan ada
botol kempis dengan stiker bertuliskan B, yang warna merahnya tinggal setengah,
dan tiba-tiba saja semuanya jadi gelap. Ah kenapa mata ini, membuatku semakin
bingun saja.
Sudah 3
minggu aku terbaring di kasur busa ini, punggung ini rasanya bengkok seperti
busur panah yang sedang ditarik. Aku ingin pulang,aku ingin pulang menemui
bunda. aku ingin memeluknya, mengelus-mengelus kepalanya, menata rambutnya,
mencium rambutnya.sungguh, rasanya seperti gajah yang tak pernah bertemu dengan
betina, hingga membuatnya buas.
Malamnya
aku pulang dengan mobil audi R8 kesayanganku, menyalip mobil-mobil jelek yang
selalu berjalan pelan, apa mereka tidak menghargai waktu? Malah menghabiskan
waktu dijalan raya bukannya menemui orang yang dikasihi atau disayangi, ah
sudahlah, bukan urusanku, aku mengejar waktuku yang semakin menipis, aku
langsung pergi menemui bunda dirumahnya yang sederhana tapi asri dan terlihat
indah dengan adenium yang berjajar di halamannya. aku memarkirkan mobilku di
depan rumah bunda tepat pada tiang telepon yang miring karena baru aku tabrak.
Aku
berjalan menyilangkan langkahku, berusaha melewati taman yang panjang ini, aku
menggapai ganggang pintu, dan menekan bel berbentuk aneh, bentuknya seperti
payudara bunda, tapi ini lebih mungil, dengan putting berwarna merah.aku
menekan putting itu, aku menebak bagaimana bunyi yang dihasilkan, mungkin suara
desahan wanita. Hahahah ternyata bukan, terdengar suara assalamua’alaikum dari
dalam rumah bunda. kapan aku terakhir kali mengucapkan kata itu? “Tuhan aku
lupa kepada-Mu, mungkin ini hukuman-Mu karena aku telah melupakanmu, maafkan
aku tuhan” aku tersungkur, dan tubuhku bersandar di daun pintu bunda, ketika
pintu itu dibuka, aku kembali tersungkur mencium kaki bunda. dan semuanya
menjadi gelap.
Aku
merasakan kembali jarum yang menusuk di nadiku, entahlah tak terasa sakitnya
sekarang, aku hanya merasa bahwa tubuhku dingin, dan aku merasakan darah di
dalam mulutku, meluber melewati sudut bibir ini, dan tiba-tiba saja ada jari
lembut yang menyeka darah di pipiku, membersihkan hingga bibirku. Betapa halus
jari ini, seperti jari bunda, lalu jari ini menghilang, entah kemana, aku ingin
jari itu tetap di atas bibirku. Kini Jari itu terganti dengan bibir yang
mendarat di bibirku, “bibir siapa ini?” Aku tak dapat merasakan bibir ini,
hanya darah yang aku rasakan, lidahnya menyapu gigiku, menyedot kuat mulutku,
dia seperti lintah menyapu semua darah di mulutku, meskipun masih tertinggal
bau amisnya. Tapi setidaknya aku bisa merasakan bibirnya, rasa anggur.
“bunda?”
tak salah lagi, aku berusaha membuka mata ini, amat berat, lebih berat daripada
membanting sensei, “ayolah mata, kasihani aku sedikit”, kurasakan air menetes di ujung mataku,
“bukalah mata, apakah kau tidak penasaran dengan air yang membasahimu?”, mata
ini menjawab “satu kali lagi, ini kesempatan terakhirmumu.” “Ohh terimakasih
mata, aku akan memberimu burger double beef dengan extra keju kesukaanmu, aku
janji.” Mata tak menjawab, dan cahaya silau masuk dalam mataku, betapa cepatnya
mata ini terbuka. Ah aku tak peduli.
“bunda?”
aahhh, sial ini bukan ciuman yang aku harapakan, dia hanya membersihkan darah
yang ada dalam mulutku. Melihat bulir cahaya lampu yang terbias dari air mata
yang berjatuhan dari sudut matanya, bunda melepas ciumannya, dan darah itu
berpindah ke bibirnya, “bunda, kenapa kamu menangis? Siapa yang kurang ajar
padamu?”
“ayah!!”
“kenapa
aku?”
“aku
hamil, yah! Kamu yang kurang ajar!” dia mencubitku, tentunya dengan cubitan
sayang. entah kenapa aku senang sekali mendengar ini, janin dari hubungan yang
diikat oleh pertunangan seharusnya sebuah tamparan keras bagi orang lain, tapi
ini adalah belaian terlembut yang pernah aku rasakan, melebihi belaian ibu.
“tidak
mungkin!” ayah, ibu, dan calon mertuaku histeri bersamaan, ah aku tak peduli.
Aku masih menikmati belaian ini, sama cueknya dengan adikku yang duduk di pojok
kamar bermain dengan BlackBerry-nya yang baru, dan aku juga tak peduli dengan
ababil itu.
“jaga
janin ini bunda, biarkan dia tumbuh, aku titip mata ini agar aku bisa melihat
bagaimana keadaanmu, jangan kuatir bunda, aku akan menjengukmu setiap malam,
dengan cahayaku sendiri aku akan menyinari kamarmu yang gelap. Aku
mencintai…….”, tiba-tibaaku sulit berkata, dan aku merasakan tubuhku sangat
dingin, sunnguh tak kuat tubuhku menahan
dingin ini, sulit sekali menggetarkan pita suaraku, apa sudah kaku karena
dingin ini? Ah aku tak peduli, yang penting aku bisa mengatakan yang seharusnya
aku katakan.
“ayah,
lalu aku bagaimana?” ah, dia jatuh memelukku, baru sadar bahwa tubuhnya seberat
ini. Aku mengusap kepalanya, mencium rambutnya menyelipkan sisi rambutnya di
sela telinganya. Aku ingin sekali
mengatakan ini bunda “anak ini akan menjagamu bunda, tubuhnya kan sekuat aku,
matanya akan sepertiku, mulutnya sepertiku, tetapi dia akn memiliki hidung
mancung sepertimu, sifat baik sepertimu, sayang, aku sungguh mencintaimu.”
“waktumu
habis kawan.” Ahh, Mata ini seperti tak tahu betapa hangatnya dipeluk wanita,
“kenapa terburu-buru?”aaahhh, mata ini
kembali sangat berat, ah sudahlah, biar saja tutup, memang sudah malam. Sudah
waktunya tutup. Kurasakan bunda menangis semakin keras, mungkin karena
pertanyaannya tak aku jawab. Tubuhku
semakin dingin dan nafasku mulai tersengal-sengal,dan terlihat cahaya putih
yang minyilaukan, aku bingung, padahal mataku suda tertutup rapat. “cahaya dari
mana?”
“surga”
aku tertawa mendengar jawaban mata,” bagaimana mungkin aku melihatcahaya surge,
apa aku calon penghuninya?”
“ini
keputusan yang di atas.” Ah sudahlah, aku juga tak peduli mau masuk surga atau
neraka, aku hanya ingin tiap malam menengok bunda.
“jadilah
kunang-kunang.”
“baiklah
mata” ada sesuatu yang menarikku, menembus ubun-ubunku, meraih sesuatu yang
saat dia pegang rasanya sangat sakit, lebih sakit daripada terkena air
mendidih. Dan bluss, lebih cepat dari kedipan mata, aku keluar.
Semua
histeris, kecuali adikku yang sibuk dengan HP-nya, mungkin dia membuat status
facebook atau twitter “yes, kakakku pergi untuk selamanya dan aku akan menjadi
anak tunggal yang semua permintaanku akan dikabulkan ayah dan ibu.” Aku tak
peduli, bukan urusanku lagi. Aku melihat bunda menangis, menggoncangkan tubuhku
yang kekar. Masih sempat aku memuji tentang tubuhku yang bagus itu. aku
mengusap kepala bunda, entah diap merasakan atau tidak aku tak peduli, dan aku
pergi.
Sama
seperti janjiku, aku menengoknya setiap malam, masuk dalam kamarnya. Dan
hinngap digorden, di atas televisi, dan yang paling sering adalah di atas
kepalanya. Aku capek bunda, terbang bolak-balik dari tempat yang jauh, ke
tempatmu sekarang. “bolehkah aku menjadi kunang-kunang kamarmu? Yang selalu
menerangi gelapnya kamarmu?” dia tak menjawab. Ah aku tak peduli,
Aku mengirimimu
sepasang nyala lilin yang teduh, satu nyala dariku, dan satu nyala pesananmu.
Ah bunda, aku hanya memiliki satu permohonan yang tak begitu mewah, aku hanya
ingin menjadi spasi yang menghindarkanmu dari titik, dan berdongeng lembut
untuk berteduh menidurkanmu.
karya: RENDRA ALIF UTAMA